Biografi Soe Hok Gie
BIOGRAFI
SOE HOK GIE
Soe Hok Gie
adalah Orang keturunan China yang lahir pada 17 Desember 1942, di Jakarta. Soe
adalah seorang etnis Tionghoa Katolik Roma. Leluhur Soe Hok Gie sendiri adalah
berasal dari provinsi Hainan, Republik Rakyat Tiongkok. Soe Hok Gie seorang
putra dari pasangan Soe Lie Pit seorang novelis dengan Nio Hoe An. Soe Hok Gie
adalah anak keempat dari lima bersaudara keluarga Soe Lie Piet alias Salam
Sutrawan, Soe Hok Gie merupakan adik dari Soe Hok Djie yang juga dikenal dengan
nama Arief Budiman. Se jak masih sekolah, Soe Hok Gie dan Soe Hok Djin sudah
sering mengunjungi perpustakaan umum dan beberapa taman bacaan di
pinggir-pinggir jalan di Jakarta.
Usia 5 tahun
adik Arief Budiman ini masuk sekolah Sinhwa School, sekolah khusus untuk keturunan
Tionghoa. Lulus SD ia meneruskan ke SMP Strada. Waktu kelas 2 SMP prestasinya
menurun, bahkan ia diharuskan mengulan. Ia tidak mau mengulang, ia merasa
diperlakukan tidak adil, akhirnya ia lebih memilih pinda sekolah daripada harus
duduk lebih ama di bangku sekolah. Sebuah sekolah kristen protestan mengizinkan
ia masuk ke kelas 3 tanpa mengulang.
Selepas dari
SMP, ia berhasil untuk masuk sekolah ke SMA Kolase Kanisius jurusan sastra.
Setelah lulus SMA ia melanjutkan di Universitas Indonesia(UI). Ia memilih ke
fakultas sastra jurusan sejarah. Ia menjadi aktivis kemahasiswaan. Banyak tang
meyakini gerakan Gie berpengaruh besar terhadap tumbangnya Soekarno dan
termasuk orang pertama yang mengkritik tajam rejin Orde Baru.
Sementara
itu di sisi lain, pemerintah Indonesia sendiri belum punya sistem yang
se-professional sekarang ini. Pada masa-masa itu, semua elemen masyarakat mau
ikut terlibat dalam pemerintahan untuk ikut ambil bagian mengatur arah bangsa
ini. Dari mulai PNI, Masyumi, NU, PKI, Parkindo, PSI, Murba, IKPI, PSII, Perti,
dan masih banyak lagi. Jadi jangan dibayangkan pada masa awal berdirinya negara
Indonesia "semangat kemerdekaan 45" itu dirayakan dengan penuh
kekompakan oleh semua lapisan masyarakat untuk membangun Indonesia.
Pada masa
pemerintahan Presiden Soekarno, sebetulnya bisa dibilang Indonesia banyak
diwarnai oleh konflik kepentingan antara kaum intelektual borjuis, militer,
PKI, parpol keagamaan dan kelompok nasionalis lainnya. Situasi politik di
Indonesia pun masih dibilang sangat kacau karena tidak adanya profesionalisme
yang menyebabkan korupsi, kolusi, dan nepotisme merebak dengan tidak terkendali
dan (hampir) semua pihak lebih mementingkan kepentingan partainya
masing-masing. Itulah kurang lebih gambaran situasi yang menemani Gie dari
kecil hingga remaja, yang tentu berpengaruh besar terhadap pandangan,
pemikiran, gagasan, serta keputusan-keputusan Gie selama hidupnya.
Jauh sebelum
kegiatan naik gunung itu populer di kalangan anak muda jaman sekarang. Soe Hok
Gie, Herman Lantang, Maulana, Koy Gandasuteja, dan kawan-kawannya yang lain
menjadi perintis berdirinya MAPALA UI (Mahasiswa Pecinta Alam). Sebuah
organisasi pecinta alam yang sampai saat ini aktif sebagai salah satu unit
kegiatan mahasiswa (UKM) di Universitas Indonesia. Ada satu penggalan kata-kata
Soe Hok Gie ketika dia ditanya apa alasan dan tujuannya mendirikan organisasi
pecinta alam ini:
"Kami jelaskan apa sebenarnya tujuan kami. Kami katakan
bahwa kami adalah manusia-manusia yang tidak percaya pada slogan. Patriotisme
tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat
mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal obyeknya. Dan mencintai tanah
air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya
dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula
pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung.” - Soe Hok Gie
Gie gencar
mengkritik Partai Komunis Indonesia (PKI) dan perilaku politiknya. Tapi, ia
menjadi salah seorang intelektual yang pertama-tama mengecam pembunuhan massal
terhadap kader dan simpatisan PKI menyusul peristiwa G30S.
Ia menulis
esai berjudul Di Sekitar Peristiwa Pembunuhan Besar-besaran di Bali.
Petikannya, "Selama tiga bulan, Bali
berubah menjadi neraka penyembelihan. Jika di antara pembaca ada yang mempunyai
teman putra Bali, tanyakan apakah dia punya seorang kenalan yang menjadi korban
peristiwa berdarah itu. Tentu akan diiyakannya, karena memang demikianlah
kenyataannya di Bali."
Gie juga
mengritik stigmatisasi kader PKI. Misalnya, dengan surat bebas G30S. Ia menganggapnya tak perlu. "Bahkan anak-anak SD kelas V dan IV
(umur 12-14 tahun) harus punya surat "bersih diri" (bersih dari
apa?). Tiga tahun yang lalu mereka baru berusia 9-11 tahun. Ini benar-benar
keterlaluan," tulisnya dalam Surat Tidak Terlibat G30S yang dimuat di
Kompas, 29 April 1969.
Gie meregang
nyawa di puncak Gunung Semeru, Jawa Timur, 16 Desember 1969. Gie tewas karena
menghirup asap beracun. Turut tewas saat itu rekan seperjalanannya, Idhan
Lubis.
Ia mencandu
naik gunung. Bukan sekadar rekreasi. Suatu hari, ia menulis, "Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia
mengenal obyeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan
mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat
dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami
naik gunung"
Tragis, Gie
meninggal di tempat yang dicintainya: gunung. Mati muda. Uniknya, ia
menyukai baris-baris puisi dari dari seorang filsuf Yunani: Nasib terbaik adalah tidak pernah dilahirkan, yang kedua, dilahirkan
tapi mati muda, yang tersial adalah berumur tua, berbahagialah mereka yang
mati muda.
Kelompok : 1
Nama Anggota :
1. Dynasti Savira R (10)
2. Eva Awalul K (13)
3. Galuh Pitaloka S D (17)
4. Intan Sutantri (19)
5. Rizky Prehatini (32)
Nama Anggota :
1. Dynasti Savira R (10)
2. Eva Awalul K (13)
3. Galuh Pitaloka S D (17)
4. Intan Sutantri (19)
5. Rizky Prehatini (32)

Komentar
Posting Komentar